Selasa, 28 Desember 2010

10 Kerusakan dalam Perayaan Tahun Baru

Alhamdulillah. Segala puji hanya milik Allah, Rabb yang memberikan hidayah demi hidayah. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, para sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka hingga akhir zaman. Manusia di berbagai negeri sangat antusias menyambut perhelatan yang hanya setahun sekali ini. Hingga walaupun sampai lembur pun, mereka dengan rela dan sabar menunggu pergantian tahun. Namun bagaimanakah pandangan Islam -agama yang hanif- mengenai perayaan tersebut? Apakah mengikuti dan merayakannya diperbolehkan? Semoga artikel yang singkat ini bisa menjawabnya. 


Sejarah Tahun Baru Masehi
Tahun Baru pertama kali dirayakan pada tanggal 1 Januari 45 SM (sebelum masehi). Tidak lama setelah Julius Caesar dinobatkan sebagai kaisar Roma, ia memutuskan untuk mengganti penanggalan tradisional Romawi yang telah diciptakan sejak abad ketujuh SM. Dalam mendesain kalender baru ini, Julius Caesar dibantu oleh Sosigenes, seorang ahli astronomi dari Iskandariyah, yang menyarankan agar penanggalan baru itu dibuat dengan mengikuti revolusi matahari, sebagaimana yang dilakukan orang-orang Mesir. Satu tahun dalam penanggalan baru itu dihitung sebanyak 365 seperempat hari dan Caesar menambahkan 67 hari pada tahun 45 SM sehingga tahun 46 SM dimulai pada 1 Januari. Caesar juga memerintahkan agar setiap empat tahun, satu hari ditambahkan kepada bulan Februari, yang secara teoritis bisa menghindari penyimpangan dalam kalender baru ini. Tidak lama sebelum Caesar terbunuh di tahun 44 SM, dia mengubah nama bulan Quintilis dengan namanya, yaitu Julius atau Juli. Kemudian, nama bulan Sextilis diganti dengan nama pengganti Julius Caesar, Kaisar Augustus, menjadi bulan Agustus.[1]
Dari sini kita dapat menyaksikan bahwa perayaan tahun baru dimulai dari orang-orang kafir dan sama sekali bukan dari Islam. Perayaan tahun baru ini terjadi pada pergantian tahun kalender Gregorian yang sejak dulu telah dirayakan oleh orang-orang kafir.
Berikut adalah beberapa kerusakan akibat seorang muslim merayakan tahun baru.

Kerusakan Pertama: Merayakan Tahun Baru Berarti Merayakan ‘Ied (Perayaan) yang Haram
Perlu diketahui bahwa perayaan (‘ied) kaum muslimin ada dua yaitu ‘Idul Fithri dan ‘Idul Adha. Anas bin Malik mengatakan,
كَانَ لِأَهْلِ الْجَاهِلِيَّةِ يَوْمَانِ فِي كُلِّ سَنَةٍ يَلْعَبُونَ فِيهِمَا فَلَمَّا قَدِمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ قَالَ كَانَ لَكُمْ يَوْمَانِ تَلْعَبُونَ فِيهِمَا وَقَدْ أَبْدَلَكُمْ اللَّهُ بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا يَوْمَ الْفِطْرِ وَيَوْمَ الْأَضْحَى
“Orang-orang Jahiliyah dahulu memiliki dua hari (hari Nairuz dan Mihrojan) di setiap tahun yang mereka senang-senang ketika itu. Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di Madinah, beliau mengatakan, ‘Dulu kalian memiliki dua hari untuk senang-senang di dalamnya. Sekarang Allah telah menggantikan bagi kalian dua hari yang lebih baik yaitu hari Idul Fithri dan Idul Adha.’”[2]

Namun setelah itu muncul berbagai perayaan (‘ied) di tengah kaum muslimin. Ada perayaan yang dimaksudkan untuk ibadah atau sekedar meniru-niru orang kafir. Di antara perayaan yang kami maksudkan di sini adalah perayaan tahun baru Masehi. Perayaan semacam ini berarti di luar perayaan yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam maksudkan sebagai perayaan yang lebih baik yang Allah ganti. Karena perayaan kaum muslimin hanyalah dua yang dikatakan baik yaitu Idul Fithri dan Idul Adha.
Perhatikan penjelasan Al Lajnah Ad Da-imah lil Buhuts ‘Ilmiyyah wal Ifta’, komisi fatwa di Saudi Arabia berikut ini:
Al Lajnah Ad Da-imah mengatakan, “Yang disebut ‘ied atau hari perayaan secara istilah adalah semua bentuk perkumpulan yang berulang secara periodik boleh jadi tahunan, bulanan, mingguan atau semisalnya. Jadi dalam ied terkumpul beberapa hal:
  1. Hari yang berulang semisal idul fitri dan hari Jumat.
  2. Berkumpulnya banyak orang pada hari tersebut.
  3. Berbagai aktivitas yang dilakukan pada hari itu baik berupa ritual ibadah ataupun non ibadah.
Hukum ied (perayaan) terbagi menjadi dua:
  1. Ied yang tujuannya adalah beribadah, mendekatkan diri kepada Allah dan mengagungkan hari tersebut dalam rangka mendapat pahala, atau
  2. Ied yang mengandung unsur menyerupai orang-orang jahiliah atau golongan-golongan orang kafir yang lain maka hukumnya adalah bid’ah yang terlarang karena tercakup dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
    مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
    Barang siapa yang mengada-adakan amal dalam agama kami ini padahal bukanlah bagian dari agama maka amal tersebut tertolak.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Misalnya adalah peringatan maulid nabi, hari ibu dan hari kemerdekaan. Peringatan maulid nabi itu terlarang karena hal itu termasuk mengada-adakan ritual yang tidak pernah Allah izinkan di samping menyerupai orang-orang Nasrani dan golongan orang kafir yang lain. Sedangkan hari ibu dan hari kemerdekaan terlarang karena menyerupai orang kafir.”[3] -Demikian penjelasan Lajnah-
Begitu pula perayaan tahun baru termasuk perayaan yang terlarang karena menyerupai perayaan orang kafir.

Kerusakan Kedua: Merayakan Tahun Baru Berarti Tasyabbuh (Meniru-niru) Orang Kafir
Merayakan tahun baru termasuk meniru-niru orang kafir. Dan sejak dulu Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah mewanti-wanti bahwa umat ini memang akan mengikuti jejak orang Persia, Romawi, Yahudi dan Nashrani. Kaum muslimin mengikuti mereka baik dalam berpakaian atau pun berhari raya.
Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
« لاَ تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى تَأْخُذَ أُمَّتِى بِأَخْذِ الْقُرُونِ قَبْلَهَا ، شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ » . فَقِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ كَفَارِسَ وَالرُّومِ . فَقَالَ « وَمَنِ النَّاسُ إِلاَّ أُولَئِكَ »
Kiamat tidak akan terjadi hingga umatku mengikuti jalan generasi sebelumnya sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta.” Lalu ada yang menanyakan pada Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam-, “Apakah mereka itu mengikuti seperti Persia dan Romawi?” Beliau menjawab, “Selain mereka, lantas siapa lagi?“[4]
Dari Abu Sa’id Al Khudri, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَتَتَّبِعُنَّ سَنَنَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ حَتَّى لَوْ دَخَلُوا فِى جُحْرِ ضَبٍّ لاَتَّبَعْتُمُوهُمْ . قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ آلْيَهُودَ وَالنَّصَارَى قَالَ فَمَنْ
“Sungguh kalian akan mengikuti jalan orang-orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta sampai jika orang-orang yang kalian ikuti itu masuk ke lubang dhob (yang penuh lika-liku, pen), pasti kalian pun akan mengikutinya.” Kami (para sahabat) berkata, “Wahai Rasulullah, Apakah yang diikuti itu adalah Yahudi dan Nashrani?” Beliau menjawab, “Lantas siapa lagi?” [5]
An Nawawi -rahimahullah- ketika menjelaskan hadits di atas menjelaskan, “Yang dimaksud dengan syibr (sejengkal) dan dziro’ (hasta) serta lubang dhob (lubang hewan tanah yang penuh lika-liku), adalah permisalan bahwa tingkah laku kaum muslimin sangat mirip sekali dengan tingkah Yahudi dan Nashroni. Yaitu kaum muslimin mencocoki mereka dalam kemaksiatan dan berbagai penyimpangan, bukan dalam hal kekufuran. Perkataan beliau ini adalah suatu mukjizat bagi beliau karena apa yang beliau katakan telah terjadi saat-saat ini.”[6]
Lihatlah apa yang dikatakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Apa yang beliau katakan memang benar-benar terjadi saat ini. Berbagai model pakaian orang barat diikuti oleh kaum muslimin, sampai pun yang setengah telanjang. Begitu pula berbagai perayaan pun diikuti, termasuk pula perayaan tahun baru ini.
Ingatlah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam secara tegas telah melarang kita meniru-niru orang kafir (tasyabbuh).
Beliau bersabda,
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka.” [7]
Menyerupai orang kafir (tasyabbuh) ini terjadi dalam hal pakaian, penampilan dan kebiasaan. Tasyabbuh di sini diharamkan berdasarkan dalil Al Qur’an, As Sunnah dan kesepakatan para ulama (ijma’).[8]
Kerusakan Ketiga: Merekayasa Amalan yang Tanpa Tuntunan di Malam Tahun Baru
Kita sudah ketahui bahwa perayaan tahun baru ini berasal dari orang kafir dan merupakan tradisi mereka. Namun sayangnya di antara orang-orang jahil ada yang mensyari’atkan amalan-amalan tertentu pada malam pergantian tahun. “Daripada waktu kaum muslimin sia-sia, mending malam tahun baru kita isi dengan dzikir berjama’ah di masjid. Itu tentu lebih manfaat daripada menunggu pergantian tahun tanpa ada manfaatnya”, demikian ungkapan sebagian orang. Ini sungguh aneh. Pensyariatan semacam ini berarti melakukan suatu amalan yang tanpa tuntunan. Perayaan tahun baru sendiri adalah bukan perayaan atau ritual kaum muslimin, lantas kenapa harus disyari’atkan amalan tertentu ketika itu? Apalagi menunggu pergantian tahun pun akan mengakibatkan meninggalkan berbagai kewajiban sebagaimana nanti akan kami utarakan.
Jika ada yang mengatakan, “Daripada menunggu tahun baru diisi dengan hal yang tidak bermanfaat, mending diisi dengan dzikir. Yang penting kan niat kita baik.”
Maka cukup kami sanggah niat baik semacam ini dengan perkataan Ibnu Mas’ud ketika dia melihat orang-orang yang berdzikir, namun tidak sesuai tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Orang yang melakukan dzikir yang tidak ada tuntunannya ini mengatakan pada Ibnu Mas’ud,
وَاللَّهِ يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ مَا أَرَدْنَا إِلاَّ الْخَيْرَ.
Demi Allah, wahai Abu ‘Abdurrahman (Ibnu Mas’ud), kami tidaklah menginginkan selain kebaikan.”
Ibnu Mas’ud lantas berkata,
وَكَمْ مِنْ مُرِيدٍ لِلْخَيْرِ لَنْ يُصِيبَهُ
Betapa banyak orang yang menginginkan kebaikan, namun mereka tidak mendapatkannya.” [9]
Jadi dalam melakukan suatu amalan, niat baik semata tidaklah cukup. Kita harus juga mengikuti contoh dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, baru amalan tersebut bisa diterima di sisi Allah.

Kerusakan Keempat: Terjerumus dalam Keharaman dengan Mengucapkan Selamat Tahun Baru
Kita telah ketahui bersama bahwa tahun baru adalah syiar orang kafir dan bukanlah syiar kaum muslimin. Jadi, tidak pantas seorang muslim memberi selamat dalam syiar orang kafir seperti ini. Bahkan hal ini tidak dibolehkan berdasarkan kesepakatan para ulama (ijma’).
Ibnul Qoyyim dalam Ahkam Ahli Dzimmah mengatakan, “Adapun memberi ucapan selamat pada syi’ar-syi’ar kekufuran yang khusus bagi orang-orang kafir (seperti mengucapkan selamat natal, pen) adalah sesuatu yang diharamkan berdasarkan ijma’ (kesepakatan) para ulama. Contohnya adalah memberi ucapan selamat pada hari raya dan puasa mereka seperti mengatakan, ‘Semoga hari ini adalah hari yang berkah bagimu’, atau dengan ucapan selamat pada hari besar mereka dan semacamnya.” Kalau memang orang yang mengucapkan hal ini bisa selamat dari kekafiran, namun dia tidak akan lolos dari perkara yang diharamkan. Ucapan selamat hari raya seperti ini pada mereka sama saja dengan kita mengucapkan selamat atas sujud yang mereka lakukan pada salib, bahkan perbuatan seperti ini lebih besar dosanya di sisi Allah. Ucapan selamat semacam ini lebih dibenci oleh Allah dibanding seseorang memberi ucapan selamat pada orang yang minum minuman keras, membunuh jiwa, berzina, atau ucapan selamat pada maksiat lainnya.
Banyak orang yang kurang paham agama terjatuh dalam hal tersebut. Orang-orang semacam ini tidak mengetahui kejelekan dari amalan yang mereka perbuat. Oleh karena itu, barangsiapa memberi ucapan selamat pada seseorang yang berbuat maksiat, bid’ah atau kekufuran, maka dia pantas mendapatkan kebencian dan murka Allah Ta’ala.”[10]

Kerusakan Kelima: Meninggalkan Perkara Wajib yaitu Shalat Lima Waktu
Betapa banyak kita saksikan, karena begadang semalam suntuk untuk menunggu detik-detik pergantian tahun, bahkan begadang seperti ini diteruskan lagi hingga jam 1, jam 2 malam atau bahkan hingga pagi hari, kebanyakan orang yang begadang seperti ini luput dari shalat Shubuh yang kita sudah sepakat tentang wajibnya. Di antara mereka ada yang tidak mengerjakan shalat Shubuh sama sekali karena sudah kelelahan di pagi hari. Akhirnya, mereka tidur hingga pertengahan siang dan berlalulah kewajiban tadi tanpa ditunaikan sama sekali. Na’udzu billahi min dzalik.
Ketahuilah bahwa meninggalkan satu saja dari shalat lima waktu bukanlah perkara sepele. Bahkan meningalkannya para ulama sepakat bahwa itu termasuk dosa besar.
Ibnul Qoyyim -rahimahullah- mengatakan, “Kaum muslimin tidaklah berselisih pendapat (sepakat) bahwa meninggalkan shalat wajib (shalat lima waktu) dengan sengaja termasuk dosa besar yang paling besar dan dosanya lebih besar dari dosa membunuh, merampas harta orang lain, zina, mencuri, dan minum minuman keras. Orang yang meninggalkannya akan mendapat hukuman dan kemurkaan Allah serta mendapatkan kehinaan di dunia dan akhirat.”[11]
Adz Dzahabi –rahimahullah- juga mengatakan, “Orang yang mengakhirkan shalat hingga keluar waktunya termasuk pelaku dosa besar. Dan yang meninggalkan shalat -yaitu satu shalat saja- dianggap seperti orang yang berzina dan mencuri. Karena meninggalkan shalat atau luput darinya termasuk dosa besar. Oleh karena itu, orang yang meninggalkannya sampai berkali-kali termasuk pelaku dosa besar sampai dia bertaubat. Sesungguhnya orang yang meninggalkan shalat termasuk orang yang merugi, celaka dan termasuk orang mujrim (yang berbuat dosa).”[12]
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mengancam dengan kekafiran bagi orang yang sengaja meninggalkan shalat lima waktu. Buraidah bin Al Hushoib Al Aslamiy berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الْعَهْدُ الَّذِى بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمُ الصَّلاَةُ فَمَنْ تَرَكَهَا فَقَدْ كَفَرَ
Perjanjian antara kami dan mereka (orang kafir) adalah shalat. Barangsiapa meninggalkannya maka dia telah kafir.”[13]  

Oleh karenanya, seorang muslim tidak sepantasnya merayakan tahun baru sehingga membuat dirinya terjerumus dalam dosa besar.
Dengan merayakan tahun baru, seseorang dapat pula terluput dari amalan yang utama yaitu shalat malam. Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَفْضَلُ الصَّلَاةِ بَعْدَ الْفَرِيضَةِ صَلَاةُ اللَّيْلِ
Sebaik-baik shalat setelah shalat wajib adalah shalat malam.”[14]
 Shalat malam adalah sebaik-baik shalat dan shalat yang biasa digemari oleh orang-orang sholih. Seseorang pun bisa mendapatkan keutamaan karena bertemu dengan waktu yang mustajab untuk berdo’a yaitu ketika sepertiga malam terakhir. Sungguh sia-sia jika seseorang mendapati malam tersebut namun ia menyia-nyiakannya. Melalaikan shalat malam disebabkan mengikuti budaya orang barat, sungguh adalah kerugian yang sangat besar.

Kerusakan Keenam: Begadang Tanpa Ada Hajat
Begadang tanpa ada kepentingan yang syar’i dibenci oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Termasuk di sini adalah menunggu detik-detik pergantian tahun yang tidak ada manfaatnya sama sekali. Diriwayatkan dari Abi Barzah, beliau berkata,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – كَانَ يَكْرَهُ النَّوْمَ قَبْلَ الْعِشَاءِ وَالْحَدِيثَ بَعْدَهَا
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membenci tidur sebelum shalat ‘Isya dan ngobrol-ngobrol setelahnya.”[15]
Ibnu Baththol menjelaskan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak suka begadang setelah shalat ‘Isya karena beliau sangat ingin melaksanakan shalat malam dan khawatir jika sampai luput dari shalat shubuh berjama’ah. ‘Umar bin Al Khottob sampai-sampai pernah memukul orang yang begadang setelah shalat Isya, beliau mengatakan, “Apakah kalian sekarang begadang di awal malam, nanti di akhir malam tertidur lelap?!”[16] Apalagi dengan begadang, ini sampai melalaikan dari sesuatu yang lebih wajib (yaitu shalat Shubuh)?!

Kerusakan Ketujuh: Terjerumus dalam Zina
Jika kita lihat pada tingkah laku muda-mudi saat ini, perayaan tahun baru pada mereka tidaklah lepas dari ikhtilath (campur baur antara pria dan wanita) dan berkholwat (berdua-duan), bahkan mungkin lebih parah dari itu yaitu sampai terjerumus dalam zina dengan kemaluan. Inilah yang sering terjadi di malam tersebut dengan menerjang berbagai larangan Allah dalam bergaul dengan lawan jenis. Inilah yang terjadi di malam pergantian tahun dan ini riil terjadi di kalangan muda-mudi. Padahal dengan melakukan seperti pandangan, tangan dan bahkan kemaluan telah berzina. Ini berarti melakukan suatu yang haram.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
كُتِبَ عَلَى ابْنِ آدَمَ نَصِيبُهُ مِنَ الزِّنَى مُدْرِكٌ ذَلِكَ لاَ مَحَالَةَ فَالْعَيْنَانِ زِنَاهُمَا النَّظَرُ وَالأُذُنَانِ زِنَاهُمَا الاِسْتِمَاعُ وَاللِّسَانُ زِنَاهُ الْكَلاَمُ وَالْيَدُ زِنَاهَا الْبَطْشُ وَالرِّجْلُ زِنَاهَا الْخُطَا وَالْقَلْبُ يَهْوَى وَيَتَمَنَّى وَيُصَدِّقُ ذَلِكَ الْفَرْجُ وَيُكَذِّبُهُ
Setiap anak Adam telah ditakdirkan bagian untuk berzina dan ini suatu yang pasti terjadi, tidak bisa tidak. Zina kedua mata adalah dengan melihat. Zina kedua telinga dengan mendengar. Zina lisan adalah dengan berbicara. Zina tangan adalah dengan meraba (menyentuh). Zina kaki adalah dengan melangkah. Zina hati adalah dengan menginginkan dan berangan-angan. Lalu kemaluanlah yang nanti akan membenarkan atau mengingkari yang demikian.”[17]

Kerusakan Kedelapan: Mengganggu Kaum Muslimin
Merayakan tahun baru banyak diramaikan dengan suara mercon, petasan, terompet atau suara bising lainnya. Ketahuilah ini semua adalah suatu kemungkaran karena mengganggu muslim lainnya, bahkan sangat mengganggu orang-orang yang butuh istirahat seperti orang yang lagi sakit. Padahal mengganggu muslim lainnya adalah terlarang sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ
Seorang muslim adalah seseorang yang lisan dan tangannya tidak mengganggu orang lain.”[18]
Ibnu Baththol mengatakan, “Yang dimaksud dengan hadits ini adalah dorongan agar seorang muslim tidak menyakiti kaum muslimin lainnya dengan lisan, tangan dan seluruh bentuk menyakiti lainnya. Al Hasan Al Bashri mengatakan, “Orang yang baik adalah orang yang tidak menyakiti walaupun itu hanya menyakiti seekor semut”.”[19] Perhatikanlah perkataan yang sangat bagus dari Al Hasan Al Basri. Seekor semut yang kecil saja dilarang disakiti, lantas bagaimana dengan manusia yang punya akal dan perasaan disakiti dengan suara bising atau mungkin lebih dari itu?!

 Kerusakan Kesembilan: Meniru Perbuatan Setan dengan Melakukan Pemborosan
Perayaan malam tahun baru adalah pemborosan besar-besaran hanya dalam waktu satu malam. Jika kita perkirakan setiap orang menghabiskan uang pada malam tahun baru sebesar Rp.1000 untuk membeli mercon dan segala hal yang memeriahkan perayaan tersebut, lalu yang merayakan tahun baru sekitar 10 juta penduduk Indonesia, maka hitunglah berapa jumlah uang yang dihambur-hamburkan dalam waktu semalam? Itu baru perkiraan setiap orang menghabiskan Rp. 1000, bagaimana jika lebih dari itu?! Masya Allah sangat banyak sekali jumlah uang yang dibuang sia-sia. Itulah harta yang dihamburkan sia-sia dalam waktu semalam untuk membeli petasan, kembang api, mercon, atau untuk menyelenggarakan pentas musik, dsb. Padahal Allah Ta’ala telah berfirman,
وَلا تُبَذِّرْ تَبْذِيرًا إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ كَانُوا إِخْوَانَ الشَّيَاطِينِ
“Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan.” (Qs. Al Isro’: 26-27)
Ibnu Katsir mengatakan, “Allah ingin membuat manusia menjauh sikap boros dengan mengatakan: “Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan.” Dikatakan demikian karena orang yang bersikap boros menyerupai setan dalam hal ini.
Ibnu Mas’ud dan Ibnu ‘Abbas mengatakan, “Tabdzir (pemborosan) adalah menginfakkan sesuatu bukan pada jalan yang benar.” Mujahid mengatakan, “Seandainya seseorang menginfakkan seluruh hartanya dalam jalan yang benar, itu bukanlah tabdzir (pemborosan). Namun jika seseorang menginfakkan satu mud saja (ukuran telapak tangan) pada jalan yang keliru, itulah yang dinamakan tabdzir (pemborosan).” Qotadah mengatakan, “Yang namanya tabdzir (pemborosan) adalah mengeluarkan nafkah dalam berbuat maksiat pada Allah, pada jalan yang keliru dan pada jalan untuk berbuat kerusakan.”[20]

Kerusakan Kesepuluh: Menyia-nyiakan Waktu yang Begitu Berharga
Merayakan tahun baru termasuk membuang-buang waktu. Padahal waktu sangatlah kita butuhkan untuk hal yang bermanfaat dan bukan untuk hal yang sia-sia. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberi nasehat mengenai tanda kebaikan Islam seseorang,
مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لاَ يَعْنِيهِ
“Di antara tanda kebaikan Islam seseorang adalah meninggalkan hal yang tidak bermanfaat baginya.” [21]
Ingatlah bahwa membuang-buang waktu itu hampir sama dengan kematian yaitu sama-sama memiliki sesuatu yang hilang. Namun sebenarnya membuang-buang waktu masih lebih jelek dari kematian.
Semoga kita merenungkan perkataan Ibnul Qoyyim, “(Ketahuilah bahwa) menyia-nyiakan waktu lebih jelek dari kematian. Menyia-nyiakan waktu akan memutuskanmu (membuatmu lalai) dari Allah dan negeri akhirat. Sedangkan kematian hanyalah memutuskanmu dari dunia dan penghuninya.”[22]
Seharusnya seseorang bersyukur kepada Allah dengan nikmat waktu yang telah Dia berikan. Mensyukuri nikmat waktu bukanlah dengan merayakan tahun baru. Namun mensyukuri nikmat waktu adalah dengan melakukan ketaatan dan ibadah kepada Allah. Itulah hakekat syukur yang sebenarnya. Orang-orang yang menyia-nyiakan nikmat waktu seperti inilah yang Allah cela. Allah Ta’ala berfirman,
أَوَلَمْ نُعَمِّرْكُم مَّا يَتَذَكَّرُ فِيهِ مَن تَذَكَّرَ وَجَاءكُمُ النَّذِيرُ
“Dan apakah Kami tidak memanjangkan umurmu dalam masa yang cukup untuk berfikir bagi orang yang mau berfikir, dan (apakah tidak) datang kepada kamu pemberi peringatan?” (Qs. Fathir: 37). 
 Qotadah mengatakan, “Beramallah karena umur yang panjang itu akan sebagai dalil yang bisa menjatuhkanmu. Marilah kita berlindung kepada Allah dari menyia-nyiakan umur yang panjang untuk hal yang sia-sia.”[23]
Inilah di antara beberapa kerusakan dalam perayaan tahun baru. Sebenarnya masih banyak kerusakan lainnya yang tidak bisa kami sebutkan satu per satu dalam tulisan ini karena saking banyaknya. Seorang muslim tentu akan berpikir seribu kali sebelum melangkah karena sia-sianya merayakan tahun baru. Jika ingin menjadi baik di tahun mendatang bukanlah dengan merayakannya. Seseorang menjadi baik tentulah dengan banyak bersyukur atas nikmat waktu yang Allah berikan. Bersyukur yang sebenarnya adalah dengan melakukan ketaatan kepada Allah, bukan dengan berbuat maksiat dan bukan dengan membuang-buang waktu dengan sia-sia. Lalu yang harus kita pikirkan lagi adalah apakah hari ini kita lebih baik dari hari kemarin? Pikirkanlah apakah hari ini iman kita sudah semakin meningkat ataukah semakin anjlok! Itulah yang harus direnungkan seorang muslim setiap kali bergulirnya waktu.
Ya Allah, perbaikilah keadaan umat Islam saat ini. Perbaikilah keadaan saudara-saudara kami yang jauh dari aqidah Islam. Berilah petunjuk pada mereka agar mengenal agama Islam ini dengan benar.
“Aku tidak bermaksud kecuali (mendatangkan) perbaikan selama aku masih berkesanggupan. Dan tidak ada taufik bagiku melainkan dengan (pertolongan) Allah. Hanya kepada Allah aku bertawakkal dan hanya kepada-Nya-lah aku kembali.” (Qs. Hud: 88)
Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihat. Wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.muslim.or.id

Senin, 27 Desember 2010

THAHARAH


THAHARAH
v     TATA CARA BERWUDHU
1.      Berniat untuk berwudhu.
Ø      Letak niat di dalam hati.

2.      Membaca basmalah.

Ø     Hadits-hadits tentang basmalah terdapat kelemahan di dalamnya akan tetapi dapat terangkat menjadi hasan karena banyaknya jalan-jalan periwayatannya. Berkata Al Hafizh Ibnu Hajar : “Nampak bahwa keseluruhan hadits-hadits ini memberikan kekuatan baginya yang menunjukkan bahwa dia memiliki asal.” Berkata Al Albani : “Hadits yang paling kuat diriwayatkan dalam masalah ini adalah hadits Abu Hurairah  yang berbunyi :
“Tidak ada shalat bagi orang yang tidak berwudhu dan tidak ada wudhu bagi orang yang tidak menyebut nama Allah Taala atasnya.” (HR. Abu Daud)
3.      Mencuci kedua tangan

Ø    Menuangkan air ke atas kedua tangan dan mencucinya di luar bejana (H.1 & H.2). Apabila tangan mengandung najis atau diragukan kesuciannya maka wajib mencucinya di luar bejana sebelum memasukkannya ke dalam bejana (H.3).
Dari 'Amr bin Yahya dari bapaknya dia berkata : "Saya melihat 'Amr bin Abi Hasan bertanya kepada Abdullah bin Zaid tentang wudhunya Nabi , maka dia meminta satu bejana air lalu dia berwudhu untuk mereka, maka dia mengambil air dengan telapak tangannya dan menuangkan ke atas kedua tangannya lalu mencuci kedua tangannya itu tiga kali, kemudian dia memasukkan tangannya ke dalam bejana lalu berkumur-kumur dan menghirup serta menghembuskan air (dari hidungnya) tiga kali dengan tiga kali menciduk air, kemudian dia memasukkan tanganya ke dalam bejana lalu mencuci wajahnya tiga kali, kemudian dia memasukkan tangannya ke dalam
bejana lalu mencuci kedua tangannya hingga ke kedua sikunya dua kali dua kali, kemudian dia memasukkan tangannya ke dalam bejana lalu mengusap kepalanya maka dia memajukan kedua tangannya dan memundurkannya, kemudian dia memasukkan tangannya ke dalam bejana lalu dia mencuci kedua kakinya ." Dan dalam riwayat Wuhaib dia berkata : "dia mengusap kepalanya satu kali." (HR. Bukhari dan Muslim)

Dan dalam satu lafazh yang juga diriwayatkan Bukhari dan Muslim : "Kemudian dia mengusap kepalanya dengan kedua tangannya maka dia memajukan keduanya dan memundurkannya, dia memulai dari bagian depan kepalanya sampai dia memperjalankan kedua tangannya ke belakang kepalanya kemudian dia mengembalikan kedua tangannya itu ke tempat mulainya tadi kemudian dia mencuci kedua kakinya.”
(H.2)
Dari Abdu Khair dia berkata : "Kami datang kepada Ali bin Abi Thalib ketika dia telah selesai shalat maka dia meminta air wudhu, maka kami berkata apa yang akan dilakukannya padahal dia telah shalat, (pastilah) dia tidak ingin kecuali untuk mengajar kami, maka dibawakan kepadanya bejana yang berisi air dan ember besar, maka dia menuangkan air dari bejana ke atas tangannya lalu dia mencucinya tiga kali kemudian dia berkumur-kumur dan menghirup air (ke dalam hidungnya) tiga kali dari tangan yang dengannya dia mengambil air kemudian dia mencuci wajahnya tiga kali dan mencuci tangannya yang kanan tiga kali dan tangan kirinya tiga kali dan mengusap kepalanya satu kali kemudian dia mencuci kakinya yang kanan tiga kali dan kaki kirinya tiga kali, kemudian dia berkata : "Barangsiapa yang senang untuk mengetahui wudhunya Rasulullah maka inilah dia." (HR. Abu Daud dan Nasa-i dan disahihkan oleh Al Albani)
(H.3)
Dari Abu Hurairah bahwasanya Nabi bersabda : “Apabila salah seorang dari kalian bangun dari tidurnya maka janganlah dia mencelupkan tangannya ke dalam air wudhunya sampai dia mencucinya sebanyak tiga kali karena dia tidak tahu dimana tangannya itu bermalam.” (HR. Abu Daud dan An Nasai dan diasahihkan oleh Al Albani)


Ø    Mencuci kedua tangan hingga ke pergelangan tangan (H.4).
(H.4)
Dari Humran maula Utsman bahwasanya Utsman bin Affan meminta air wudhu lalu dia berwudhu maka dia mencuci kedua telapak tangannya tiga kali kemudian dia berkumur-kumur dan menghembuskan air (dari hidung) kemudian dia mencuci mukanya tiga kali kemudian dia mencuci tangannya yang kanan sampai ke siku tiga kali kemudian mencuci tangan kirinya seperti itu pula, kemudian dia mengusap kepalanya kemudian mencuci kaki kanannya hingga ke mata kaki tiga kali kemudian mencuci yang kiri seperti itu pula, kemudian dia berkata : "Aku melihat Rasulullah berwudhu seperti wudhuku ini kemudian beliau bersabda : "Barangsiapa yang berwudhu seperti wudhuku ini kemudian dia berdiri melaksanakan shalat dua raka'at, dia tidak berbicara dengan dirinya sendiri pada ke dua raka'at itu (khusyu') diampunkan baginya dosanya yang telah lalu." (HR. Bukhari dan Muslim)
Ø    Mencuci sela-sela jari (H.5).

(H.5)
Dari Laqith bin Shabirah dia berkata : Aku berkata : Wahai Rasulullah sampaikanlah kepadaku tentang wudhu, beliau berkata : "Sempurnakanlah wudhu, cucilah sela-sela jari dan bersungguh-sungguhlah dalam menghirup air kecuali jika engkau sedang berpuasa." (HR. Tirmidzi dan disahihkan oleh Al Albani)
4.      Membersihkan mulut dan hidung

Ø    Dengan cara berkumur-kumur, menghirup air ke dalam hidung lalu menghembuskannya kembali ke luar (H.1 & H.2).
Ø    Berkumur-kumur dan menghirup air ke dalam hidung dilakukan secara bersamaan (H.2 & H.4).
Ø    Bersungguh-sungguh ketika menghirup air ke dalam hidung kecuali dalam keadaan berpuasa karena dikhawatirkan air masuk ke dalam kerongkongan (H.5).

5.      Mencuci muka

Ø      Batas muka (wajah) : lebarnya antara kedua telinga dan panjangnya dari awal tempat tumbuhnya rambut hingga ke dagu.
Ø      Jika kepala tidak memiliki rambut maka patokannya adalah tempat tumbuhnya rambut dalam keadaan normal atau ketika dia masih memiliki rambut.
Ø      Janggut dibedakan antara yang lebat dan yang tipis. Janggut yang lebat adalah janggut yang tumbuh sedemikian sehingga kulit tempat tumbuhnya janggut tersebut tidak terlihat lagi, maka janggut yang seperti ini diusap permukaannya dan disela-selai dengan jari-jari tangan yang dibasahi dengan air. Adapun janggut yang tipis adalah janggut yang masih terlihat kulit tempat tumbuhnya janggut tersebut, maka janggut yang seperti ini harus dicuci dan air harus sampai ke kulit wajah tempat tumbuhnya janggut tersebut.
Dari anas bin Malik bahwasanya Rasulullah apabila beliau berwudhu beliau mengambil seciduk air lalu memasukkannya di bawah dagu beliau lalu mencuci di sela-sela janggut beliau dan beliau berkata : “Beginilah Tuhanku „Azza wa Jalla memerintahkan kepadaku.” (HR. Abu Daud dan dishahihkan oleh Al Albani)

6.      Mencuci kedua tangan hingga ke siku (H.1 & H.2)

7.      Mengusap kepala (bukan mencuci).
Ø    Yaitu dengan membasahi kedua tangan dengan air lalu mengusapkannya ke kepala (H.1).
Ø    Cara mengusap kepala yaitu dengan memperjalankan kedua telapak tangan yang telah dibasahi dengan air, dimulai dari bagian depan kepala hingga ke bagian belakang kepala kemudian dikembalikan lagi ke bagian depan (tempat memulai) (H.1).
Ø    Setelah kedua telapak tangan kembali ke tempat mulainya langsung mengusap kedua telinga tanpa mengambil air yang baru (H.6 & H.7 ).
Ø    Mengusap telinga dengan cara mengusap bagian dalam daun telinga dengan jari telunjuk dan bagian luar daun telinga dengan ibu jari (H.6).




(H.6)
Dari 'Amr bin Syu'aib dari bapaknya dari kakeknya tentang sifat wudhu Rasulullah , dia berkata : Kemudian beliau mengusap kepalanya dan memasukkan kedua jari telunjuknya ke dalam kedua telinganya dan mengusap dengan kedua ibu jarinya bagian luar dari kedua telinganya (daun telinga) dan mengusap dengan kedua telunjuknya bagian dalam dari kedua telinganya. (HR. Abu Daud dan berkata Al Albani hasan shahih)

(H.7)
Dari Abu Hurairah, Abdullah bin Zaid dan Abu Umamah radhiyallahu „anhum bahwasanya Rasulullah bersabda :
 “Kedua telinga itu adalah bagian dari kepala.” (HR. Abu Daud, Tirmidzi dan Ibnu Majah dan disahihkan oleh Al Albani)
8.      Mencuci kaki
Ø    Mencuci kedua kaki hingga ke mata kaki. Allah berfirman :
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan kakimu sampai dengan kedua mata kaki…” (QS. Al Maidah : 6)
Ø    Mencuci sela-sela jari-jari kaki (H.5).

9.      Untuk anggota tubuh yang berpasangan dimulai dengan mencuci bagian yang kanan kemudian bagian yang kiri.
Dari Aisyah radhiyallahu 'anha dia bekata : Adalah Nabi suka untuk memulai dari yang kanan ketika memakai sendal, bersisir, bersuci dan dalam seluruh keadaan beliau. (HR. Bukhari)
10.  Anggota-anggota wudhu dapat dicuci sebanyak masing-masing satu kali
Dari Ibnu Abbas bahwasanya Nabi pernah berwudhu satu kali satu kali. (HR. Bukhari)
Atau masing-masing dua kali
Dari Abdullah bin Zaid  bahwasanya Nabi pernah berwudhu dua kali dua kali. (HR. Bukhari)
Atau masing-masing tiga kali (H1, H2, H4) dan inilah yang afdhal.

v     Mandi Janabah

Sahnya mandi janabah adalah dengan membasahi seluruh tubuh dengan air. Adapun sunnahnya maka ada dua cara:
1. Cara pertama :
Ø      Mencuci kedua tangan
Ø      Berwudhu secara sempurna sebagaimana wudhu untuk shalat
Ø      Mencuci sela-sela rambut dengan jari-jari tangan sampai membasahi seluruh permukan kulit kepala.
Ø      Menyiram air ke atas kepala tiga kali.
Ø      Menyiram seluruh tubuh.
Dari Aisyah radhiyallahu 'anha dia berkata : Adalah Nabi apabila beliau mandi janabah beliau mulai dengan mencuci kedua tangannya kemudian beliau berwudhu seperti wudhunya untuk shalat, kemudian beliau memasukkan jari-jari beliau ke dalam air lalu mencuci sela-sela rambutnya hingga ke kulit kepala beliau kemudian beliau menyiramkan air ke atas kepalanya tiga kali dengan tangan beliau kemudian beliau menyiramkan air ke seluruh permukaan kulit beliau . (HR. Bukhari)
2. Cara kedua :
Ø      Menuangkan air ke tangan dua atau tiga kali.
Ø      Mencuci kemaluan.
Ø      Menggosok tangan ke tanah atau ke tembok.
Ø      Berkumur-kumur, menghirup air ke hidung dan menghembuskannya ke luar.
Ø      Mencuci muka.
Ø      Mencuci lengan .
Ø      Menyiram air ke atas kepala.
Ø      Menyiram air ke seluruh tubuh.
Ø      Berpindah tempat kemudian mencuci kaki.
Ø      Menyeka air dari tubuh dengan kedua tangan dan tidak dengan handuk (tetapi hal ini tidak menunjukkan bahwa memakai handuk terlarang).
Dari Maimunah radhiyallahu 'anha dia berkata : Rasulullah meletakkan air untuk mandi janabah lalu beliau menuangkan air dengan tangan kanannya ke tangan kirinya dua kali atau tiga kali, kemudian beliau mencuci kemaluan beliau, kemudian beliau menepukkan tangan beliau ke tanah atau ke tembok dua kali atau tiga kali, kemudian beliau berkumur-kumur dan menghirup air dan mencuci wajah beliau dan kedua lengan beliau kemudian beliau menyiramkan air ke atas kepala beliau lalu menyiramkan air ke
tubuh beliau, kemudian beliau minggir lalu beliau mencuci kedua kaki beliau. Berkata Maimunah : Lalu aku mengambilkan beliau kain (handuk) namun beliau tidak menginginkannya, lalu beliau mulai menyeka air dengan tangan beliau. (HR. Bukhari dan Muslim)

v     Tayammum

Ø      Tata cara tayammum :
Ø      Menepukkan kedua telapak tangan ke atas tanah yang berdebu.
Ø      Meniup kedua telapak tangan tangan yang telah ditepukkan ke tanah.
Ø      Mengusap kedua telapak tangan ke wajah.
Ø      Mengusap kedua telapak tangan hingga ke pergelangan.

Dari Ammar bin Yasir bahwasanya Nabi berkata kepadanya (tentang tayammum) : “Sesungguhnya cukup bagimu berbuat seperti ini,” lalu Nabi menepukkan kedua telapak tangannya ke tanah dan meniup keduanya kemudian beliau mengusap dengan kedua telapak tangannya itu wajah beliau dan kedua tangan beliau hingga pergelangan. (HR. Bukhari dan Muslim)

www.muslim.or.id



Jumat, 24 Desember 2010

BELAJAR ISLAM

PROBLEMATIKA UMAT ISLAM

Umat islam sekarang ini sedang mengalami problematika yang rumit. banyak umat islam yang tenggelam dalam euphoria arus globalisasi sehingga eksistensi umat islam yang sesungguhnya meredup. Banyak orang yang katanya adalah seorang muslim tapi ternyata perilakunya sangat menyimpang dari perilaku umat islam pendahulu pada zaman Rasulullah sallallhu ‘alaihi wa sallam. 

Jika ingin melihat bagaimana umat islam yang sesungguhnya maka contohlah baginda Rasulullah sallallhu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat. Mereka adalah cerminan islam yang sesungguhnya. Mereka adalah umat terbaik sepanjang zaman sebagaimana diriwayatkan dalam Al-Quran.
 
 
كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ  تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ  وَتَنْهَوْن عَنِ لْمُنْكَرِ  وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّه وَلَوْ  آمَنَ أَهْلُ الْكِتَابِ لَكَانَ خَيْرًا  لَهُمْ مِنْهُمُ  لْمُؤْمِنُونَ
     وَأَكْثَرُ هُمُ الْفَاسِقُونَ

“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka; di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.” (Al-Imran [3]:110)

Umat islam di zaman Rasulullah sallallhu ‘alaihi wa sallam adalah umat yang hebat. Mereka adalah umat yang paling baik pemahaman  agamanya dan paling baik pengamalan atas ajaran Islam. Mereka mengajak kepada yang ma’ruf dan mencegah kepada yang munkar. Umat Rasulullah sallallhu ‘alaihi wa sallam adalah umat yang jika dibacakan ayat Al-Qur’an kepada mereka maka hatinya akan bergetar dan tidak sedikit pun berkomentar atau pun menggugat setiap apa yang disunnahkan Rasulullah sallallhu ‘alaihi wa sallam.
Umat Islam pada zaman Rasulullah sallallhu ‘alaihi wa sallam memiliki ciri-ciri yaitu :

1.      Mengajak kepada hal yang ma’ruf (kebaikan)
2.      Mencegah/ melarang kepada hal yang munkar (keburukan)
3.      Beriman kepada Allah SWT.

Sebelum diturunkannya larangan meminum khamr, umat Rasulullah sallallhu ‘alaihi wa sallam pada saat itu termasuk orang yang suka meminum khamr. Namun saat pertama diturunkannya larangan  tersebut sahabat berkeliling ke rumah-rumah menyampaikan ayat yang melarang meminum khamr. Sebagian sahabat yang mendengar itu sedang memegang gelas berisi khamr dan bahkan ada yang sedang meneguk khamr tersebut. Setelah mendengar larangan meminum khamr mereka sama sekali tidak berkomentar, seketika sahabat langsung membuang gelas tersebut dan sahabat yang sedang meminum khamr langsung memasukkan tangannya ke dalam mulut untuk memuntahkan khamr yang terlanjur dia minum. 

Inilah umat Islam yang sesungguhnya, yang ketika mendengarkan perintah Allah azza wa jalla mereka tak sedikit pun berkomentar, meraka langsung mengerjakan apa yang diperintahkan oleh Alllah SWT. Sungguh kontras dengan umat sekarang ini, yang ketika MUI  memfatwakan bahwa ghibah (bergosip dan mendengarkan gosip) larangan infotainment menayangkan hal-hal yang berbau ghibah atau pun pada saat dikeluarkan Undang-Undang anti-pornografi. sontak mereka yang mengaku Islam berkomentar dan mengungkapkan ketidaksetujuannya. 

Umat islam sekarang ini sangat mudah terpengaruh oleh arus globalisasi. Mereka adalah umat pembeo yang jika melihat sedikit saja pakaian artis di TV mereka langsung menirunya. Umat Islam sekarang ini memiliki ciri-ciri yang terbalik dengan Umat pada zaman Rasulullah sallallhu ‘alaihi wa sallam . Ciri-ciri umat sekarang yaitu;

1.      Mengajak kepada yang munkar (keburukan)
2.      Mencegah kepada yang ma’ruf (kebaikan)
3.      Pembeo

Inilah yang menjadi masalah utama umat Islam sekarang ini. Kebanyakan umat islam tidak sadar bahwa satu-satunya jalan yang benar adalah dengan kembali kepada Al-Quran dan As-Sunnah. Kita bisa melihat kenyataan yang ada di masyarakat bagaimana justru para orang tua zaman sekarang lebih senang membelikan anaknya pakaian yang tidak menutup aurat. Mereka bukannya tidak tahu batas aurat tetapi mereka telah terpengaruh oleh arus globalisasi dan terlalu banyak meniru budaya luar.

Kebanyakan di masyarakat sekarang ini ketika mengadakan acara walimahan (acara pernikahan) mereka menyewa grup musik yang pakaiannya dapat menaikkan nafsu para   tamu undangannya. Mereka tidak sadar bahwa mereka mengajak para tamu undangan untuk melihat sesuatu yang diharamkan dalam Islam.

Hal paling miris pada zaman sekarang ini adalah paradigma bahwa orang islam (orang yang berjenggot dan sering ke mesjid) adalah merupakan kelompok teroris bahkan sampai-sampai para orang tua melarang anaknya untuk dekat dengan mereka yang justru memberikan contoh yang baik dalam Islam. Para orang tua juga lebih senang mengajak anaknya pergi ke mall daripada mengajak anaknya untuk belajar membaca  Al-Qur’an di TPA atau pun di mesjid sekitarnya.  

Hasan Al-Basri pernah mengatakan bahwa jika kalian tidak berada dalam kondisi kebaikan maka berarti kalian berada dalam keburukan. Kita dituntut untuk selalu mengejar kebaikan agar senantiasa berada dalam kondisi yang baik. Bila kita tidak sedang berada dalam kebaikan maka kemungkinannya yaitu kita berada di garis  yang sangat rentan menuju kebatilan atau bahkan kita sudah jelas berada dalam keburukan.
Seseorang yang baru membeli sebuah handphone dan sebelumnya tidak tahu tentang handhone, tentu saja dia akan mencari tahu bagaimana cara memakainya, cara merawatnya, bahkan bagaimana jika handphone itu rusak. Dia tidak mungkin bertanya kepada yang bukan ahli tentang handphone. Oleh karena itu tempat yang paling baik untuk memperoleh jawaban tentang cara pakai hp tersebut, yaitu kepada si pembuat hp sendiri. Si pembuat hp lah yang paling tahu tentang segala seluk beluk dari hp tersebut. Ketika kapal TITANIC menabrak gunung es, orang yang paling tahu kapan dan berapa lama kapal tersebut bisa bertahan yaitu insinyur yang mendesign kapal tersebut.
Karena si pembeli hp tidak bisa bertemu langsung dengan pembuat hp miliknya, dia mencari buku panduan yang ditulis oleh pembuat hp miliknya. Buku panduan itulah yang memberikan petunjuk  tentang hp tersebut sehingga pembeli hp tidak perlu bertemu dengan pembuat hp miliknya.

Uraian di atas merupakan analogi bahwa Dzat yang paling tahu tentang manusia dan bagaimana seharusnya manusia itu agar menjadi manusia yang mulia yaitu  Allah azza wa jalla, Tuhan semesta alam. Bagaimana cara untuk menjadi manusia yang mulia? yaitu dengan berpegang teguh kepada Al-Qur’an sebagai firman langsung dari Allah  dan As-Sunnah sebagai contoh langsung dari Rasulullah saw. Rasulullah saw pernah bersabda, 
 “Aku tinggalkan untuk kalian dua perkara. Kalian tidak akan sesat selama berpegangan dengannya, yaitu Kitabullah (Al Qur'an) dan sunnah Rasulullah Saw.” (HR. Muslim) 

Sebagai umat Rasulullah sallallhu ‘alaihi wa sallam sudah sepatutnya kita kembali kepada Al-Qur’an dan As-Suinnah agar kita dapat menjadi manusia yang selamat dunia dan akhirat. 
Subhankallahu wa bihamdika asyhadualla ila ha illa anta astaghfiruka wa atubu ilaik. 
Wassalamu a’laikum warahmatullahi wabarakatuh.